CIANJUR,-Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional ke-41, Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) STISNU Cianjur menggelar diskusi publik yang mengangkat isu krusial mengenai pernikahan dini, bertempat di Kampus STISNU Cianjur, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 99, Kecamatan Cilaku.
Diskusi ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, serta aktivis sosial, dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak negatif dari pernikahan usia anak, baik dari segi hukum, sosial, maupun kesehatan.
Tela Mutia, Sekretaris DEMA STISNU Cianjur sekaligus kader PMII, menyampaikan bahwa pernikahan dini merupakan ancaman serius bagi generasi muda, terutama dalam menciptakan siklus kemiskinan baru akibat terputusnya pendidikan.
“Pernikahan dini bukan hanya persoalan adat atau budaya, tapi pelanggaran hak anak. Ini akan menghambat pembangunan manusia yang berkualitas,”ujarnya.
Mengacu pada UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, usia minimal menikah adalah 19 tahun. Namun, praktik di lapangan masih menunjukkan tingginya angka pernikahan di bawah usia tersebut, terutama di wilayah pedesaan.
PMII dan DEMA STISNU Cianjur juga menyoroti beberapa dampak buruk dari praktik pernikahan dini, seperti
Meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, Tingginya angka perceraian, Risiko kematian ibu dan bayi, dan Angka putus sekolah yang tinggi.
Melalui siaran pers ini, PMII dan DEMA STISNU menyerukan kepada dinas terkait agar meningkatkan sosialisasi batas usia pernikahan secara masif, serta menggandeng unsur pendidikan dan masyarakat dalam menekan angka pernikahan usia anak.
Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen mahasiswa untuk mewujudkan generasi emas Indonesia 2045, yang terbebas dari praktik diskriminatif dan pelanggaran hak anak.(*)
Reporter | | Rie’an / Deri | Editor | Redaksi | Website | nusacitra.com